MEDITASI FENOMENOLOGIS DAN AKSI POLITIS

Rembrandt van Rijn - The Storm - 1633 - Oil on canvasTidak lama setelah kabinet baru pimpinan presiden Joko Widodo diumumkan dan terbentuk, cukup banyak ucapan selamat datang ke beberapa anggota inti Sanggar Pergerakan Kebangsaan, termasuk juga tim Fenopol. Sebabnya tidak lain karena salah seorang menteri yang dipercaya memimpin sebuah kementerian strategis memiliki hubungan persaudaraan dan kebangsaan yang dekat dengan Sanggar PK, dan kedekatan ini telah terjalin sejak lama bahkan sejak awal 2006. Mungkin banyak orang yang tidak terlalu mengenal kawan-kawan Sanggar PK merasa lebih penasaran lagi tentang ‘status ontologis’ institusi tersebut, khususnya kegiatan serta pergerakannya. Mungkin begitu penasarannya orang-orang tersebut hingga merasa perlu nekad ‘nyelonong’ masuk tanpa izin ke akun web http://www.pergerakankebangsaan.org, menyelidiki semua files di dalamnya lewat pintu belakang, yang mengakibatkan macet dan rusaknya media komunikasi Sanggar Pergerakan Kebangsaan.

Baca lebih lanjut

Surat Terbuka JAPHEC kepada FENOPOL Group

Perkenalan saya dengan fenomenologi adalah ketika menempuh studi di Universitas Pertahanan Indonesia. Dalam satu program studi yang jarang diberikan tapi mendasar saya mendapatkan mata kuliah Philosophy of Peace and Conflict Resolution (PCR UNHAN). Tajam dan jernihnya kuliah-kuliah yang diberikan oleh Prof. Franz Magnis-Suseno, Romo Setyo Wibowo, dan abang Ito Prajna-FENOPOL EagleNugroho, semuanya sangat menggugah saya untuk mendalami filsafat khususnya fenomenologi yang dibawakan oleh bang Ito Prajna. Semangat untuk menyebarkannya walau dengan pengetahuan yang terbatas adalah saat diskusi-diskusi intensif bersama bang Ito Prajna-Nugroho di sebuah café 24 jam di bilangan Sarinah, di tengah hiruk pikuk hasrat dan lalu lalang manusia di Jakarta Pusat.

Baca lebih lanjut

Great Expectations

World Economic Forum - chartThe Economist – Little has been done to restructure Indonesia’s economy to boost demand at home and move manufacturing up the value chain. Almost nothing has been done to fix the country’s dilapidated ports, roads and electricity supply (see chart). According to the World Bank, goods take longer to reach their destination in Indonesia than almost anywhere else in Asia. A poor, and deteriorating, education system is causing a severe shortage of skill. Indonesia’s slowing growth is compounding these challenges. It fell from an average of 6.3% in 2010-12 to 5.8% in 2013, a four-year low. In June Indonesia’s central bank predicted that this year’s growth would be lower still, at less than 5.2%. That will be too low to provide employment for the millions of young people who enter the jobs market every year. This demographic dividend “could be a demographic disaster”. Baca lebih lanjut

DEMOKRASI DI ANTARA PEMBARUAN DAN PENGUATAN TATANAN

Paul Cezanne - nature mort au crane - oil on canvas 1898Demokrasi, yang terwujudkan melalui prosedur pemilihan umum, diandaikan tidak semata-mata sebagai mekanisme (rutinitas) lima tahunan belaka. Lebih dari itu, melalui mekanisme tersebut diandaikan bahwa setiap negara (dan warga negaranya) dapat sampai kepada cita-cita kebaikan bersama (common good) yang dituju sesuai dengan alasan dari adanya setiap ikatan sosial-politik. Artinya, di dalam proses demokrasi termuat harapan-harapan dan kehendak umum yang diandaikan akan dipenuhi oleh siapapun yang terpilih dalam mekanisme demokratis tersebut. Maka, di balik mandat dan harapan tersebut bermukim tanggung jawab dan pengorbanan-diri yang berat. Harapan warga dan keutuhan negara menjadi batas yang membatasi kepentingan-diri dan hasrat kelompok dari siapapun yang akan terpilih sebagai pemimpin tertinggi Republik.

Baca lebih lanjut

TRINITAS KEKUASAAN

Ito Prajna-Nugroho

Salvador Dali - Autumn Cannibalism 1936 - oil on canvas

“Logika, inferensi, epistemologi adalah pra-kondisi bagi kekuatan militer saat ini.” [1] 

Kutipan di atas menunjuk pada fenomena yang oleh Alvin Toffler disebut sebagai pergeseran kekuasaan (powershift) di abad ke-21. Kekuasaan memiliki logika atau cara kerjanya yang tersendiri dan mendasar. Toffler adalah pemikir yang di pertengahan abad ke-20 telah menyatakan secara antisipatif dan apa adanya bahwa logika kekuasaan itu telah mengalami pergeseran di lapis yang paling mendasar. Jika sebelumnya kekuasaan bergerak karena kekuatan fisik (dominasi lewat otot dan senjata) dan kekuatan uang (dominasi lewat penawaran atau pengambilan keuntungan material), maka di masa depan (dan masa kini) kekuasaan bergerak lewat kekuatan pengetahuan sebagai perantaranya. Persisnya: kekuasaan meluas dan menyebar lewat cara bagaimana pengetahuan diperoleh, diolah, ditafsirkan, dan dipahami (atau: disalahpahami secara sengaja). Singkatnya, bukan lagi senjata dan uang, melainkan epistemologi (apa yang dapat saya ketahui dan bagaimana sesuatu dapat diketahui) yang menjadi poros penggerak kekuasaan di masa depan.

Baca lebih lanjut

Sejenak Menyimak Lirih Suara Carl Schmitt

Ito Prajna-Nugroho

REMBRANDT 2 - A Scholar in A Room with Winding StairsBukan sikap anti-demokrasi atau anti-parlemen yang hendak dinyatakan melalui kritik Carl Schmitt, sama sekali bukan. Apa yang hendak dinyatakan Schmitt melalui kritiknya adalah peringatan bahwa sebuah sistem politik yang mengingkari fundamen politiknya adalah sistem politik yang berada dalam bahaya jatuh ke dalam kediktaturan, entah itu kediktaturan sistem, kediktaturan uang, kediktaturan media, ataupun kediktaturan seorang sosok pemimpin. Dalam arti ini, Carl Schmitt sama sekali tidak menyuarakan anti-demokrasi, melainkan justru menyuarakan demokrasi autentik! Atau persisnya: menyuarakan demokrasi untuk kembali kepada autentisitasnya yang lebih dari sekadar elektoralisme dan proseduralisme. Namun demikian, dalam horison politik yang terjebak oleh sempitnya pemahaman akan demokrasi, suara Carl Schmitt adalah suara yang hanya terdengar lirih. Dalam suatu trend depolitisasi yang menjadikan politik tidak lebih dari sekadar marketing, suara Carl Schmitt adalah suara di kejauhan yang nyaris tidak akan terdengar di tengah gemericik suara pundi-pundi uang.

Baca lebih lanjut

Sejenak Berfenomenologi di Tengah Pasar

Rembrandt - The Slaughtered OxPasar memang tidak ada ketika manusia mulai menapak sejarah evolusinya. Tetapi dalam perjalanan sejarah manusia, pasar terbangun entah itu disengaja atau tidak. Manusia menciptakan berbagai peralatan untuk mendukung apa yang menjadi hasrat dasarnya: melangsungkan hidup. Pasar adalah salah satunya. Apa yang disebut sebagai hasrat melangsungkan hidup itu ada karena manusia selalu dihadapkan pada kematian. Maka pasar sebagai ‘alat dukung’ kelangsungan hidup pun adanya bayang-bayang kematian adalah tidak terhindarkan. Kita kemudian bisa mengatakan bahwa pasar dalam bentuk paling awalnya sebagai kegiatan barter tidak akan berhasil jika manusia gagal menunda hasrat-hasrat membunuhnya. Maka adalah tepat pendapat Baron Montesquieu yang mengatakan bahwa perdagangan itu mendorong peradaban. Baca lebih lanjut

SEJENAK BERFENOMENOLOGI DI ‘JEMBATAN SERONG’ JAKARTA

??????????Apakah yang terlintas dalam benak pikiran Anda saat mendengar kata ‘ekologi’ dan ‘keprihatinan lingkungan’? Alam raya beserta pepohonan, hewan-hewan, pegunungan, dan lautan? Tentu kita lebih terbiasa mendengar istilah ‘keprihatinan sosial’ atau ‘ideologi’ daripada istilah ‘ekologi’ dan ‘keprihatinan lingkungan’. Peristilahan menjadi bertambah asing dan aneh saat muncul istilah ‘fenomenologi lingkungan’. Tetapi Anda mungkin akan lebih merasa aneh lagi saat mengetahui lebih jauh bahwa ‘fenomenologi lingkungan’ tidak sekadar berkenaan dengan alam raya beserta isinya, melainkan lebih dari itu berkenaan dengan kesadaran manusia dan cara beradanya yang khas. Baca lebih lanjut

SEJENAK BERFENOMENOLOGI DI PUSHAM SURABAYA

Pada 23-24 Maret yang lalu, Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Surabaya mengadakan forum temu kebangsaan. Digagas oleh PUSHAM dan Komunitas Kebangsaan Surabaya, acara ini melibatkan kerja sama yang padu di antara berbagai kalangan, mulai dari aktivis sampai unsur pemerintah, dari tukang ojek sampai ke para donatur, dari tokoh agama sampai ke tokoh nasionalis, dari seniman sampai ke intelektual akademis. Pagelaran wayang (Wayang Kampung Sebelah) yang dipelopori oleh dalang Ki Jlitheng Suparman menjadi puncak acara yang memberikan karakter khas bagi seluruh rangkaian acara, sekaligus juga menyatukan ratusan masyarakat yang hadir di Karang Menur Surabaya. Namun, sehari sebelum puncak acara ini berlangsung, sebagaimana karakter khas PUSHAM dan Pergerakan Kebangsaan dalam menyelenggarakan berbagai acara, dilangsungkan terlebih dulu diskusi yang berjalan hingga dini hari. Forum diskusi itu sendiri adalah sebuah diskusi lesehan yang diikuti oleh banyak pemuda serta berbagai kalangan dari berbagai strata masyarakat. Diskusi lesehan ini sendiri diadakan jauh dari gegap gempita dunia publik, namun justru sifatnya yang esoteric itulah yang memungkinkan terjadinya intensitas tukar pikiran dan gagasan di antara peserta diskusi. Diskusi tersebut juga mengambil tema yang tidak populer dan masih asing bagi masyarakat awam Indonesia, yaitu filsafat fenomenologi. Baca lebih lanjut