SEJENAK BERFENOMENOLOGI (1): APA ITU FENOMENA?

 Ito Prajna-Nugroho

(Naskah studi akademis berikut dituliskan sebagai tanggapan sekaligus pemberian filosofis kepada Bpk. Soedaryanto, anggota DPR-RI periode 1992-1997 Fraksi PDI, anggota DPA bidang Hankam periode 1997-2002, kini penggagas dan komite nasional Pergerakan Kebangsaan, dan lebih dari semua itu adalah seorang fenomenolog)

HusserlBeberapa waktu lalu, di tengah pertemuan terbatas dengan para sahabat di badan penelitian Sanggar Pembasisan Pancasila dan Filsafat Fenomenologi, di tengah serunya tukar pikiran serta argumentasi mengenai berbagai tema filsafat politik dan kaitannya dengan tatanan geopolitik, seorang teman sekonyong-konyong bertanya kepada saya: “Mas, apa sebetulnya yang dimaksud dengan ‘fenomena’ dalam fenomenologi? Sebab sekarang, khususnya di media-media informasi, orang bisa sesukanya menyebut apa saja sebagai fenomena. Lalu apa sebetulnya ‘fenomena’?” Pertanyaan ini bagaikan siraman air dingin di tengah panas terik matahari, mengagetkan bahkan agak menjengkelkan tetapi justru menyadarkan. Pertanyaan ini juga membawa saya kembali jauh ke belakang, ke tahun-tahun yang lampau, di saat saya yang ketika itu baru genap berusia 19 tahun memulai proses studi sebagai mahasiswa filsafat.

Baca lebih lanjut

Filsafat (Fenomenologi) dan Ideologi (Politik)*

Diskusi Fenopol dalam Kelas Malam

Diskusi Fenopol Kelas Malam

Dalam acara kelas filsafat malam hingga dini hari di Bulaksumur, Yogyakarta, salah seorang mahasiswa mencetuskan pertanyaan yang kurang lebih dapat dirumuskan sebagai berikut: “Dalam suasana kehidupan masyarakat yang telah terpelanting ke status survival (mempertahankan hidup hari demi hari), di mana dalam survival itu mengejar uang menjadi satu-satunya motif hidup, apa yang bisa diberikan oleh filsafat (fenomenologi) selain kepusingan? Bukankah filsafat (fenomenologi) menjadi kemewahan yang tidak dimiliki orang pada umumnya yang bergulat dengan survival?” Baca lebih lanjut

Fenomenologi Politik Tematis: Situasi Batas dan Keadaan Darurat – Membaca Teologi Politik

MANUSIA DALAM SITUASI BATAS DAN NEGARA DALAM KEADAAN DARURAT

 

Oleh: Ito Prajna-Nugroho

 

Makalah pendek berikut secara khusus berkenaan dengan dua problematika pokok, yaitu: 1) situasi batas, dan 2) keadaan darurat. Secara umum makalah ini tidak dapat dipisahkan dari teori tentang negara dan perdebatannya dalam sejarah filsafat politik. Pembahasan mengenai situasi batas dan keadaan darurat tidak dapat dilihat pada dirinya sendiri semata, karena niscaya berkaitan dengan keseluruhan pandangan mengenai negara dan tatanan sosial-politik. Secara metodologis naskah ini betolak dari dua pengandaian filosofis sebagai alat kerjanya: 1) fenomenologi eksistensial, dan 2) filsafat politik Carl Schmitt.

Fenomenologi eksistensial digunakan sebagai pengandaian filosofis-teoretis karena kemampuannya dalam menerobos kebuntuan persoalan mengenai subyek atau cara berada manusia di balik setiap tatanan.[i] Fenomenologi eksistensial, yang bertolak dari fenomenologi Husserl dan Heidegger, mampu secara jitu membongkar persoalan-persoalan seputar pengandaian ‘manusia’ tertentu di balik setiap tatanan sosial-politik, di saat teori-teori sosial-politik terbentur oleh keterbatasan pengandaian metodologinya masing-masing. Pemikiran Carl Schmitt menjadi pokok bahasan makalah ini sebab hingga saat ini pemikiran Schmitt terus-menerus menantang (menghantui) seluruh pendekatan teoretis-sistematik modern mengenai demokrasi, mengenai parlemen, dan mengenai fondasi utama berdirinya negara sebagai tatanan sosial-politik. Jika teori-teori modern tentang negara menekankan pada keutuhan serta kesatuan sistem demi berdirinya suatu tatanan, maka Schmitt membongkar keutuhan dan kesatuan itu dengan mempersoalkan pengandaian dasar yang memungkinkan adanya segala sistem. Tantangan yang muncul dari pemikiran Carl Schmitt tidak (belum) dapat dijawab secara memuaskan hingga saat ini oleh teori-teori demokrasi modern (liberal). Meminjam istilah Jacques Derrida, hantu (specter) yang tetap bergentayangan dan menghantui tatanan sosial-politik modern bukanlah pemikiran Karl Marx,[ii] melainkan pemikiran Carl Schmitt.

 

Keadaan darurat serupa dengan situasi batas, tetapi keduanya tidak identik satu sama lain. Tidak setiap keadaan darurat adalah situasi batas. Tetapi, setiap situasi batas, dalam hidup politik maupun hidup pribadi, selalu bersifat darurat.



[i] Paul Ricoeur, Husserl: An Analysis of His Phenomenology, translated by Edward G. Ballard and Lester E. Embree (Evanston: Northwestern University Press, 1970), p. 203.

[ii] Jacques Derrida, Specters of Marx, translated by Peggy Kamuf (New York: Routledge Classics, 2006).

Untuk mendapatkan naskah secara lengkap, silakan menghubungi Pusat Kajian Fenomenologi dan Politik atau Sanggar Pembasisan Pancasila dengan kontak:

email: pergerakan@gmail.com, atau: itoprajna@gmail.com

Democracy and the Question of Virtue

Ito Prajna-Nugroho[i]

PlatoMore than thirteen years have passed since Indonesia, in 1998, freed itself from Suharto’s authoritarian regime, and set sail into a vast democratic ocean, a new horizon of unlimited possibilities of democratization, which is being consensually called as Reformation. After almost fourteen years of democratization, a bunch of questions still lingers and confronts us: have we changed for the better? Have we made ourselves better along the road of democratization? Or are we as disoriented as before or even worse? Baca lebih lanjut

Sikap Tahu Batas: Meneropong Hasrat Partai Politik di Tengah Pusaran Uang

“When it is a question of money, everybody is of the same religion.” François-Marie Arouet / Voltaire (1694-1778)

tahu batasJika di penghujung tahun 60-an ada ungkapan ‘kita Keynesian semua sekarang’, maka di era pasca Perang Dingin ini ada yang bilang ‘kita kapitalis semua sekarang’. Mungkin ditambah catatan kecil, kecuali Korea Utara. Jika kita kembali kepada satu prinsip utama kapitalisme, ungkapan itu tidaklah berlebihan. Bukankah, katakanlah Rusia dan China, Tirai Besi dan Tirai Bambu di masanya, sekarang juga mengenal pemisahan antara alat produksi dan buruh? Dimana alat-alat produksi itu bisa secara bebas dimiliki oleh orang-per-orang. Yang ini berbeda dengan jaman feudal ketika semua alat produksi hanya dimiliki oleh kaum bangsawan. Baca lebih lanjut

Disiplin Hasrat: Keutamaan Politik dalam Filsafat Stoa

Fenopol_9_13Moralitas Stoa dibangun di atas dasar realisme psikologis bahwa manusia adalah makhluk hasrat yang akan selalu digerakkan oleh hasrat-hasrat alamiahnya, dan cenderung tunduk padanya. Disiplin hasrat menjadi menjadi batu penjuru yang memisahkan antara moralitas kebanyakan manusia yang hidup secara alamiah mengikuti begitu saja hasrat-hasratnya (the fools) dan moralitas sedikit mereka yang hidup secara mawas-diri dengan terlatih untuk membaca serta menguasai hasrat-hasratnya (the sage). […] Disiplin hasrat menjadi ukuran kerasnya moralitas bagi sedikit manusia yang berani menyebut diri sebagai pemimpin. Baca lebih lanjut

Kutipan Buku

SATUNYA KATA DAN TINDAKANMarcus Aurelius, Lingkaran Filsafat, dan Kerasnya Laku Hidup Seorang Kaisar Stoa

Moralitas Stoa diciptakan, dituliskan, dan dimadahkan bagi mereka sedikit orang yang harus terampil berenang-berselancar di dalam kubangan hasrat kepentingan. Moralitas Stoa diciptakan, dituliskan, dan disabdakan bagi mereka yang memperoleh mandat atau mendaku-diri sebagai pemimpin. Karena sejak awal filsafat Stoa menekankan pada pendaya-gunaan atau optimalisasi bagian jiwa yang berfungsi untuk mengkomando-memerintah keseluruhan diri manusia (hegemonikon), maka sejak awal pula filsafat Stoa telah menjadi etika filosofis bagi mereka yang memiliki kewajiban/mandat untuk mengkomando dan memerintah tatanan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Baca lebih lanjut

BUKU BARU

SATUNYA KATA DAN TINDAKANExcerpt Buku

“SATUNYA KATA DAN TINDAKAN”

(Penerbit Sanggar Pembasisan Pancasila)

Oleh: Greg Sudargo, Pengantar: Yos Setiyoso, Epilog: Ito Prajna-Nugroho

isbn

MAWAS DIRI: BELAJAR DARI AMERIKA SERIKAT DAN CINA

Jika melihat Lincoln dan yang ada di pihaknya melakukan mawas diri, dan banyak dari mereka mempunyai kekuatan politik dalam mempengaruhi negara, maka bisa dikatakan mawas diri ini dilakukan tidak hanya dilakukan oleh ‘super-rich’, tetapi juga oleh ‘super-power’. Hapusnya perbudakan adalah juga berarti melepas (sebagian) kekuasaan mereka (atas orang lain). Kekuasaan yang ‘super’ ini, terutama kekuasaan atas budak-budak, dilepas. Dengan hapusnya perbudakan, dengan dilepaskannya sebagian kekuasaan dari kelompok ‘super-power’, yang sekaligus ‘super-rich’ ini ternyata telah mengubah tata-interaksi dan tata-hidup bersama bangsa Amerika. Ketika ‘potensi pemberontakan’ dalam negeri berhasil di’minimalisir’ dengan membebaskan ‘rakyat yang tertindas’ maka AS bisa lebih konsentrasi menghadapi pesaing-pesaing dari belahan dunia lainnya. Dan selain itu, budak yang telah dibebaskan itu, ketika kemampuannya semakin meningkat, bukankah mereka juga pada akhirnya ikut memperkuat penyerapan hasil produksi (industri) juga? Baca lebih lanjut

Fenopol, Fenomenologi Politik

COVER2Mei 2013 wingi terbit buku judulé Fenomenologi Politik. Membongkar Politik Menyelami Manusia, karangan Ito Prajna-Nugroho, penerbité Sanggar Pembasisan Pancasila. Opo kuwi Fenomenologi?

Seko ukoroné, fenomenologi: phenomenon plus logos, dadi: ilmu soal phenomena. Ilmu soal gejala-gejala. Ilmu soal ‘penampakan-penampakan’. Soal gejala-gejala, penampakan-penampakan sebagai pengalaman, pengalaman langsung sing dirasaké menungso. Fenomenologi dirintis karo filsuf sing jenengé Edmund Husserl, awal abad 20-an. Miturut Kang Ito, ono loro hal penting nang Fenomenologiné cak Husserl iki, siji, Husserl titis tenan nunjukké opo sing dadi hal mendasar masalah nang dunia modern iki. Dè’é nunjuk kuwi mergo ononé kesalah-pahaman nang jeroné memahami sifat dasar dunia lan sifat dasar menungso. Nomer loro, Husserl iso nunjukké dalan sing mak-nyus kanggo ngadepi masalah-masalah dunia modern kuwi, yoiku nganggo dalan sing disebut sikap fenomenologis nèk pas ngadepi kenyataan. Baca lebih lanjut

Intermezo

Ito8Sedikit kopi kayu manis, teh hijau, beserta roti lapis..banyak rokok kretek dan perdebatan konseptual-filosofis.. Di sana sini diselingi canda tawa terbahak-bahak..yang kembali menjadi keheningan saat merujuk lagi pada teks Martin Heidegger Sein und Zeit (Ada dan Waktu) yang terbuka lebar di atas meja, dan selalu memanggil untuk kembali pada teks.. Memang refleksi tidak bisa dilepas dari spontanitas, kedalaman tidak bisa dipisahkan dari keseharian, otentisitas tidak bisa dipahami tanpa in-otentisitas. Seperti kata Maurice Merleau-Ponty saat mengomentari teks Husserl Ideen II: “c’est une experience tres volupteuse!.”